MOH. IDRUS

Beribadah, Berilmu, dan Beramal

Jinayah (Tindak Pidana) dalam al-Qur`an

A. PENDAHULUAN
Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayah atau jarimah. Jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinayah merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah.
Secara terminologi kata jinayah mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya. Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang.
Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha’, perkataan Jinayah berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang terlarang menurut syara’. Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya.
Selain itu, terdapat fuqoha’ yang membatasi istilah Jinayah kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah Jinayah adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Dengan kata lain Jinayah atau jarimah adalah tindak pidana dalam ajaran Islam, yaitu bentuk-bentuk perbuatan jahat yang berkaitan dengan jiwa manusia atau anggota tubuh (pembunuhan dan perlukaan).
B. JINAYAH DALAM AL-QUR`AN
Jinayah dibagi dalam 3 (tiga) aspek yaitu:
1) Jaraimul Qishash, adalah kejahatan yang dapat dikenai hukuman qishash atau diyat. Qishash artinya balasan yang sepadan, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku seperti perbuatan yang telah dilakukannya kepada korban. Misalnya hukuman bagi pembunuh diqishash dengan cara dibunuh, hukuman bagi pelaku yang melukai yang menyebabkan orang lain cacat diqishash seperti perbuatannya (misalnya : qishash mata dengan mata, tangan dengan tangan, dan seterusnya.
Qishash diatur dalam Al Quran antara lain:
QS. Al Baqarah, 2:178
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapatkan pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksaan yang pedih”.
QS. Al Maidah, 5:45
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim ”.
Sedangkan Diyat adalah ganti rugi akibat dari suatu perbuatan pidana (Jinayah). Misalnya, orang yang membunuh dengan tidak sengaja dihukum dengan diyat berupa memerdekakan hamba sahaya dan membayar 100 ekor unta kepada keluarga korban.
Diyat diatur dalam Al Quran yaitu:
QS. An Nisa, 4:92
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ
“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
2. Jaraimul Had, adalah kejahatan yang dikenai had atau hudud.
3. Jaraimul Takzir, adalah kejahatan yang dapat dikenai takzir. Jenis dan hukumannya sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa (keputusan hakim) demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Dalam penetapannya prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya), serta penegakannya harus sesuai dengan prinsip syar’i. Misalnya takzir atas maksiat, kemaslahatan umum, pelanggaran terhadap lingkungan hidup, pelanggaran lalu lintas, dan lain-lain.
Macam-Macam Tindak Pidana
1. Tindak pidana yang dapat dikenai Qishash atau Diyat
Tindak pidana yang termasuk dalam Jinayah dan dapat dikenai qishash atau diyat adalah pembunuhan. Definisi pembunuhan adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain.
Pembunuhan pada asalnya terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
1) Pembunuhan yang diharamkan, seperti pembunuhan karena permusuhan.
2) Pembunuhan yang hak atau diperbolehkan, seperti pembunuhan dalam perang, atau pembunuhan terhadap orang murtad yang diperkenankan hukum.
Pembunuhan yang termasuk tindak pidana ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1) Pembunuhan dengan sengaja.
Pembunuhan yang disengaja adalah pembunuhan yang diniatkan atau direncanakan dengan menggunakan alat atau cara yang dapat menyebabkan orang lain terbunuh. Pembunuhan yang disengaja merupakan perbuatan yang diharamkan dan pelakunya memikul dosa besar (kabair), sebagaimana firman Allah:
QS. Al-Isra, 17:33
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dna barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.”
Hukuman bagi pelakunya adalah setinggi-tingginya diqishash yaitu dibunuh. Namun apabila keluarga (ahli waris) korban memaafkan, pembunuh diharuskan membayar diyat senilai 100 (seratus) ekor unta secara tunai, sebagaimana sabda Nabi:
مَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا دُفِعَ إِلَى أَوْلِيَاءِ المَقْتُولِ، فَإِنْ شَاءُوا قَتَلُوا، وَإِنْ شَاءُوا أَخَذُوا الدِّيَةَ، وَهِيَ ثَلَاثُونَ حِقَّةً، وَثَلَاثُونَ جَذَعَةً، وَأَرْبَعُونَ خَلِفَةً، وَمَا صَالَحُوا عَلَيْهِ فَهُوَ لَهُمْ، وَذَلِكَ لِتَشْدِيدِ العَقْلِ
“Barangsiapa yang membunuh dengan sengaja, maka ia diserahkan kepada keluarga terbunuh. Apabila mereka menghendaki, maka membunuhnya, dan apabila mereka menghendaki ambillah diyat, yaitu tigapuluh ekor unta hiqqah, tiga pukuh ekor unta jadzaah, dan empat puluh ekor unta khalafah. Hasil perdamaian itu untuk mereka (ahli waris). Demikian itu untuk menakutkan terhadap pembunuhan. (HR. Tirmidzi)
Ibnu al-Qayyim menyatakan, “Pembunuhan dengan sengaja, berhubungan dengan tiga hak, yaitu: Hak Allah, dan ini akan terhapus dengan tobat. Hak auliya` al-maqtul, dan ini gugur dengan menyerahkan diri kepada mereka. Hak al-maqtul (korban). Ini tidak gugur, karena korban telah mati dan hilang. Namun, apakah kebaikan pembunuh akan diambil (di akhirat) atau Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan keutamaan dan kemurahan-Nya akan menanggungnya? Yang benar adalah, Allah dengan keutamaannya akan bertanggung jawab, apabila si pembunuh tersebut jelas kebenaran dan kejujuran tobatnya.”
Apabila pembunuh telah menyerahkan diri dengan suka rela, dengan menyesalinya dan takut kepada Allah, serta bertobat dengan tobat nashuha, maka hak Allah Subhanahu wa Ta’ala gugur dengan tobat si pembunuh, dan hak auliya` al-maqtul gugur dengan menunaikan qisas secara sempurna, dengan jalan perdamaian, atau dimaafkan. Akan tetapi, masih tersisa hak korban. Allah yang akan menggantinya di hari kiamat dari hamba-Nya yang bertobat, dan Allah pun memperbaiki hubungan keduanya.
Hukuman qishash bagi pelaku kejahatan pembunuhan merupakan hukuman yang layak dijatuhkan kepada pelaku. Nyawa manusia adalah milik Allah dan pemeliharaan terhadap nyawa adalah kewajiban manusia. Hukum qishash adalah alat untuk melindungi nyawa manusia dari kematian yang tidak dikehendaki-Nya, sebagaimana firman Allah:
QS. Al-Baqarah, 2:179
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kmu bertakwa”.
Qishash diberlakukan agar peristiwa pembunuhan tidak terjadi, sehingga kelangsungan hidup akan terjamin dan terlindungi.
2) Pembunuhan tidak sengaja;
Pembunuhan tidak sengaja adalah pembunuhan yang tidak dimaksudkan untuk membunuh, karena salah sasaran, atau ketidaktahuan pelaku sehingga secara tidak sengaja menghilangkan nyawa orang lain. Pelaku pembunuhan ini tidak dikenakan qishash, melainkan diwajibkan membayar diyat dengan cara memerdekakan hamba sahaya dan memberi 100 (seratus) ekor unta kepada keluarga atau ahli waris korban, sebagaimana firman Allah:
QS. An-Nisa, 4:92
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ
“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, hendaklan ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu)”
Diyat yang dimaksud dalam ayat di atas dijelaskan dalam sabda Rasul:
قَضَى أَنَّ مَنْ قُتِلَ خَطَأً فَدِيَتُهُ مِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ
“Sesungguhnya diyatnya pembunuhan jiwa adalah 100 ekor unta”.
(HR. Abu Daud, Nasai dan Ibn Huzaimah)
3) Pembunuhan seperti sengaja.
Pembunuhan seperti sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan tidak sengaja dan tidak menggunakan alat dan cara yang dapat membunuh, dan yang secara kebiasaan tidak dimaksudkan hendak membunuh. Misalnya seseorang memukul dengan lidi dan yang dipukul ternyata mati. Pelaku pembunuhan ini tidak dihukum qishash, tetapi harus membayar diyat.

2. Keadilan dalam melaksanakan Had.
Tindak pidana yang dapat dikenai Had adalah:
1) Zina, homoseksual, lesbianisme, dan bestiality.
Berzina termasuk dosa besar dan harus dihukum sesuai dengan ketentuan hukum (Had). Ada 2 (dua) macam kategora berzina, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang pernah menikah dan oleh orang yang belum menikah. Pelaku zina yang pernah menikah apabila terbukti dikenai hukuman setinggi-tingginya rajam. Sedangakan bagi pelaku zina yang belum pernah menikah hukumannya dipukul (jilid) 100 (seratus) kali pukulan dan diasingkan selama 1 (satu) tahun.
Firman Allah:
QS. An Nur, 24:2
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan yang berzina dan laik-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan sekumpulan dari orang-orang yang beriman”
Hukuman berat bagi pelaku perzinahan dan pelaksanaanya disaksikan orang banyak, mengandung arti hukuman itu merupakan upaya melindungi masyarakat, memberi pelajaran kepada masyarakat agar membenci perbuatan itu serta membuat orang menjadi takut bernuat kejahatan serupa. Dengan demikian hukuman ini bersifat preventif dan berfungsi memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Hukum Islam lebih berpihak pada ketenteraman orang banyak daripada memberi perlindungan kepada para pelaku kejahatan.
Homoseksual adalah melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis yaitu laki-laki dengan laiki-laki. Apablia yang melakukannya perempuan dengan sesama perempuan disebut lesbianisme. Hukuman bagi pelaku homoseksual dan lesbianisme dikategorikan sama denga melakukan zina, karena itu jika dapat dibuktikan di pengadilan dapat diancama hukuman seperti halnya pelaku zina.
Sabda Nabi:
“Kalau laki-laki bersenggama dengan laki-laki, keduanya adalah pezina”
Demikian pula melakukan hubungan seksual dengan binatang (bestiality) termasuk perbuatan zina dan dikenai hukuman sebagaimana orang berzina.
Islam sangat tegas dalam menghukum para pelaku perzinahan, karena dampaknya besar sekali terhadap tatanan kehidupan masyarakat, bahkan menjadi sumber penyakit yang dapat menghancurkan peradaban, seperti penyakit AIDS yang mampu membunuh jutaan orang pada waktu yang relatif singkat.
2) Menuduh zina (Qadzaf)
Menduduh berzina kepada orang lain apabila tuduhannya itu tidak bisa dibuktikan, maka penuduh dapat dikenai hukuman 80 (delapan puluh) kali pukulan.
Firman Allah :
QS. An-Nur, 24:2
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian meeka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”.
3) Mabuk.
Khamr adalah minuman yang diharamkan, orang yang meminumnya berdosa. Minum khamr disamping berdosa yang hukumannya ditentukan di akhirat, juga dalam masyarakat muslim dipandang kejahatan yang patut dihukum. Hukuman yang diberikan adalah hukuman jilid 40 sampai 80 kali.
Hukuman berat bagi para peminum khamr dan pemabuk dimaksudkan untuk membuat jera dan tidak mengulanginya. Permabukan dapat merusak sistem syaraf sehingga pelakunya dapat lepas dari kontrol kesadarannya, sehingga dengan mudah dan ringan mereka dapat melakukan kejahatan lainnya seperti pencurian, pembunuhan, perzinahan, pemerkosaan, dan lain-lain. Selain menghukum berat para peminum khamr dan pemabuk, Islam juga mengharamkan pula penjualan minuman-minuman yang memabukkan.

4) Mencuri.
Pencurian adalah mengambil barang milik orang lain tanpa izin pemiliknya secara sembunyi untuk dimilikinya. Hukuman bagi pelaku pencurian apabila dapat dibuktikan di pengadilan adalah potong tangan, sebagaimana firman Allah:
QS. Al-Maidah, 5:38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya”.
Islam menjamin hak kepemilikan dan hukum wajib memberikan perlindungan serta keamanan. Oleh sebab itu hukuman berat bagi pencurian merupakan upaya pemeliharaan dan perlindungan terhadap hak kepemilikan barang oleh individu maupun masyarakat.
C. PERADILAN DALAM JINAYAH (TINDAK PIDANA)
Penerapan hukum atas tindak pidana sebagaimana disebutkan di atas dilakukan melalu proses peradilan yang menyidangkan perkara-perkara. Dalam sejarah Islam, orang yang pertama memegang peradilan (hakim) adalah Rasulullah sendiri, selanjutnya sesuai dengan kebutuhan umat Islam yang berkembang terus menerus.
Hakim dipandang sebagai sebagai mujtahid, Islam memberikan nilai-nilai dasar yang harus dipegang oleh seorang hakim dalam memutuskan perkara. Seorang hakim dengan kekuasaannya dapat menjatuhkan hukuman kepada seseorang, oleh sebab itu hakim dituntut bertindak adil dalam memutuskan perkara.
Suatu perkara dapat digelar apabila ada dakwaan yang memenuhi ketentuan. Dakwaan adalah sesuatu yang menghubungkan kepada diri sendiri atas sesuatu yang ada pada orang lain atau dalam tanggungan orang lain. Dakwaan diakui apabila dikuatkan dengan ikrar (pengakuan), kesaksian, sumpah, atau dengan dokumen yang sah.
Ikrar adalah pengakuan terhadap apa yang didakwakan dan ini merupakan dalil yang paling kuat untuk menetapkan dakwaan.
Sedangkan kesaksian adalah pemberitahuan seseorang tentang sesuatu yang dia ketahui. Kesaksian dapat berupa pengetahuan melalui penglihatan atau pendengaran. Kesaksian hukumnya menjadi fardu ain apabila seseorang dipanggil untuk itu dan dikhawatirkan kebenaran akan hilang.
Firman Allah:

QS.Al-Baqarah, 2:283
وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Janganlah kmu sembunyikan persaksian, dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka dia adalah orang yang berdosa hatinya”.
Kesaksian itu harus oleh 2 (dua) orang laki-laki, kecuali untuk kesaksian pada pidana zina atau tuduhan zina, saksinya harus 4 (empat) orang laki-laki, sebagaimana firman Allah:
QS. An-Nisa, 4:15
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ
“Dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, maka datangkanlah empat orang di antara kamu untuk menjadi saksi”.
Dan firman-Nya:
QS. An-Nur, 24:4
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina, dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi.”.
Sumpah dalam hukum Islam dapat dijadikan bahan penetapan dakwaan yang berkaitan dengan harta benda (perdata). Sedangkan untuk pidana, sumpah tidak diterima sebagai alat pembuktian.
Dalam menetapkan hukum pidana, peradilan Islam sangat hati-hati. Kesalahan dalam penetapan hukum dapat berakibat kerugian (untuk hukuman diyat) dan kecacatan (untuk hukuman potong tangan) dan bahkan kematian seseorang (untuk hukuman rajam atau qishash).
Pelaksanaan hukuman dilakukan dengan segera setelah pengadilan menetapkan hukuman bagi para pelaku. Ketentuan pelaksanaan hukuman dilaksanakan secara terbuka dan disaksikan orang banyak setelah selesai sholat Jumat. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi pelajaran bagi seluruh masyarakat tentang hukumana bagi para pelaku kejahatan. Dengan demikian, tidak ada lagi orang yang mencoba meniru atau mengulangi perbuatan jahat.
Hukuman yang berat tidak dimaksudkan sebagai balas dendam kepada para pelaku kejahatan, melainkan untuk menjaga agar kehidupan masyarakat aman dan tenteram. Oleh sebab itu, setiap pelaksanaan hukuman diumumkan kepada masyarakat agar peristiwa itu berkesan pada setiap orang dan berdampak pada pendidikan masyarakatnya. Setiap orang yang akan melakukan kejahatan akan berpikir kembali karena takut akan hukuman yang berat itu. Hukuman mati (qishash) bukanlah hukuman yang tanpa perikemanusiaan, justru merupakan hukuman yang melindungi hak-hak asasi manusia, karena para pelaku kejahatan telah menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi dan mulia.
D. KESIMPULAN
Dari makalah yang diuraikan maka dengan ini penyusun dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1. Al Qur`an yang diturunkan Allah Swt mencakup seluruh aspek kehidupan manusia yang salah satunya adalah mengatur tentang tindak pidana atau jinayah.
2. Jinayah di dalam Al Qur`an mengatur secara rinci baik kategori, hukuman, maupun proses penetapan hukum terhadap pelaku tindak pidana (jinayah).
3. Pemberian hukuman terhadap pelaku tindak pidana bukan bermaksud bals dendam, atau kebencian tetapi sebagai pemberian hak baik hak Allah, hak auliya almaqtul, maupun al maqtul. Dan selain itu juga menjadi sarana penghapusan dosa atas tindak pidana yang dilakukannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdullah, Musthafa. dkk. Intisari Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1983.
2. Asy-Syarhu al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’: 14/5, Muhammad bin Shalih Ibnu Utsaimin, cetakan pertama, tahun 1428 H, Dar Ibnu al-Jauzi, KSA.
3. Audah, Abdul Qadir. At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy. Dar Al Kitab Al Araby, Beirut.
4. Jazuli, Ahmad. Fiqh Jinayah, PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Cetakan I.1999.
5. Kallaf, Abdul wahab. Ilmu Ushul Al-Fiqh. Ad Dar Al Kuwaitiyah. Cetakan VIII. 1968.
6. Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2004
7. Subul as-Salam al-Mushilah ila Bulugh al-Maram, 7:231, tahqiq Muhammad Shubhi Hasan Halaf, Muhammad bin Isma’il ash-Shan’ani, cetakan kedelapan, tahun 1428 H, Dar Ibnu al-Jauzi, KSA.

TA`ARUDH AL-ADILLAH : Dalil-dali yang Bertentangan dan Metode Penyelesaiannya

A. Pengertian Ta`arudh al-Adillah
Secara bahasa, kata ta`arudh berarti pertentangan antara satu dengan yang lain. Wahbah al-Zuhaily tidak setuju terhadap pendapat sebagaian kalangan yang menyamakan antara ta`arudh dengan tanaqudh. Menurut Wahbah antara kedua istilah ini terdapat perbedaan. Tanaqudh membawa implikasi batalnya satu dari dua dalil. Sedangnkan ta`arudh hanya menghalangi berlaku hukum yang dimaksud suatu dalil tanpa menggugurkan keberadaan dalil tersebut.
Kata al-adillah adalah bentuk plural dari kata dalil, yang berarti argumen, alasan, dan dalil. Kajian tentang ta`arudh al-adillah khusus dibahas dalam ilmu ushul fiqh ketika terjadi pertentangan secara lahir antara dua dalil yang sama kuatnya dalam menunjukkan suatu hukum.
Ada beberapa definisi ta`arudh al-adillah yang dikemukakan ahli ushul fiqh, diantaranya dikemukakan Khudhari Beik sebagai berikut :
التعارض أنيقتضى كل من دليليين عدم يقتضى الآخر
Ta`arudh adalah dalil yang menunjukkan suatu hukum yang bertentangan dengan dalil yang lain.
Definisi ta`arudh yang dikemukakan oleh Khudhari Beik ini sejalan dengan definisi yang dirumuskan Ali Hasbalah, yaitu :
التعارض أن يقتضى الدليلين المتساويين فى مرتبة الثبوت نقيض ما يقتضيه الاخر
Ta`arudh adalah dua dalil yang sama tingkatnya menunjukan suatu hukum yang bertentangan dengan hukum yang dikandung dalil yang lain dalam kasus yang sama.
Dari kedua definisi ini diketahui bahwa pertentangan antara kedua dalil terjadi dalam bentuk lahirnya dari segi penilaian mujtahid yang mengamatinya. Misalnya, satu dalil yang secara lahir menunjukkan hukum wajib, dalil yang lain dalam kasus yang sama menunjukkan hukum haram.
Wahbah Zuhaili mendefiniskan ta`arudh al-adillah sebagai berikut :
التعارض هو أن يقتضى أحد الدليل حكما فى واقعه خلاف ما يقتضيه الدليل الا خر فيها
Ta`arudh adalah salah satu dari dua dalil yang menunjukkan pada hukum suatu peristiwa tertentu, sedangkan dalil lain menunjukkan hukum yang berbeda dengan itu.
Sedangkan Ibn Qudamah seperti yang dikutip Wahbah mengemukakan definisi ta`arudh al-adillah sebaiagai beirkut:
التعارض هو عبارة عن تنافي الدلالين او الأدلة بحسب الدلالة على وجه التناقض او التضاد بينهما فيمتنع اجتما عهما كأن يقضى أحد الدليلين الايحاب والاخر التحريم
Ta`arudh adalah sesuatu ungkapan dipakai untuk saling meniadakan dua dalil atau beberapa dalil yang menunjukkan pertentangan yang sulit mengkompromikan antara keduanya. Misalnya antara dua dalil yangs satu menunjukkan hukum wajib sementara yang lain mmenunjukkan hukum haram.
Menurut Abdul Karim Zaidan pada prinsipnya tidak mungkin terjadi pertentangan antara dalil-dalil syara`. Ta`arudh atau pertentangan antara dalil syara` hanya terjadi dalam pandangan mujtahid. Atas dasar ini dapat dipastikan bahwa ta`arudh hanya terjadi secara zahir, bukan secara hakiki dan yang demikian hanya dalam pandangan mujtahid. Kadangkala sebagian mujtahid menilai dalil bertentangan dengan dalil lain karena terkait dengan kekuatan pemahaman mujtahid bersangkutan tentang maksud yang dikandung suatu dalil.
Dengan demikian ta`arudh terjadi ketika mujtahid menetapkan hukum yang dikandung sebuah dalil, tetapi pada saat yang sama ada dalil yang menunjukkan pada hukum lain yang bertentangan dengan dalil pertama. Salah satu contoh dalam QS al-Baqarah : 240 dijelaskan tentang ketentuan iddah wanita yang ditinggal mati suami sebagai berikut :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاج
Dan orang-orang yang yang akan meninggal dunia diantara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).
Ayat ini menjelaskan secara umum tentang iddah wanita yang ditinggal mati suaminya yaitu satu tahun. Ayat ini bertentangan secara zahir dengan QS al-Baqarah : 234
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari.
Dalam ayat terakhir ini Allah memegaskan bahwa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Jadi terjadi pertentangan hukum yang dikandung antara kedua ayat tersebut.
Pertentangan juga terjadi antara QS al-Baqarah : 234 di atas dengan QS at-Talaq : 4
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa iddah wanita yang hamil hingga melahirkan anaknya. Ayat ini tidak membedakan antara iddah wanita yang dicerai suaminya dan cerai karena meninggal dunia. Ayat ini menetapkan iddah wanita yang dicerai suami, baik cerai hidup maupun cerai mati sampai melahirkan anaknya. Ini tentu berbeda dengan hukum yang dikandung QS al-Baqarah : 234 yang menyatakan bahwa masa iddah wanita yang cerai karena meninggal dunia yaitu 4 bulan 10 hari.
Sehubungan dengan itu, ta`arudh al-adillah baru terjadi apabila kedua dalil yang bertentangan sama derajat atau tingkatannya. Persamaan derajat yang dimaksud adalah antara ayat dengan ayat atau hadis dengan hadis. Atas dasar ini, tidak dipandang sah pertentangan antara dalil qath`i dengan dalil zhanni. Begitu pula tidak dipandang sah pertentangan antara nash dengan ijma`, antara nash dengan qiyas. Hal ini disebabkan tidak terpenuhi ketentuan karena antara masing-masing dalil yang bertentangan berbeda tingkatannya. Untuk itu dalil yang kuat mengalahkan dalil yang lemah dan dalil yang zhanni dikalahkan oleh dalil yang qath`i.
Pertentangan antara dalil ini tidak hanya terjadi pada dalil-dalil yang bersifat zhanni dalalahnya, tetapi meliputi pula pertentangan antara dalil-dalil yang qath`i. Bahkan pertentangan dalil terjadi pula antara dalil naqli dengan aqli. Namun sebagian besar ulama berpendapat tidak mungkin terjadi pertentangan antara dua dalil qath`i karena keduanya memfaedahkan yakin sehingga tidak logis melakukan tarjih antara sesuatu yang mengfaedahkan yakin dengan yakin lainnya.
B. Cara Penyelesaian Ta`arudh al-Adillah
Dalam mengahadapi ta`arudh al-adillah atau pertentang antara dua dalil secara zhahir dpat dilakukan dengan beberapa metode penyelesaian, yaitu :
1. Naskh
Secara bahasa naskh mengandung dua pengertian, pertama naskh berarti penghapusan atau peniadaan. Kedua naskh berarti pemindahan dari suatu keadaan kepada keadaan lain. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt dalam QS al-Jasiyat: 29 yaitu :
إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat atau memindahkan apa yang telah kamu kerjakan.
Secara istilah ada dua definisi naskh yang dikemukakan para ahli ushul fiqh. Definisi pertama seperti yang diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami:
النسخ هو بيان انتهاء أمدحكم بط شرعي متراخ عنه
Naskh adalah penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum melalui dalil syara` yang datang kemudian.
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa hukum yang dinaskh atau dihapus itu atas kehendak Allah dan penghapusan ini sebagai pertanda berakhir masa berlakunya hukum tersebut.
Definisi kedua seperti yang diungkapkan oleh Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh yang menyatakan bahwa :
النسخ هو رفع حكم شرعي بدليل شرعي متأخر منه
Naskh adalah pembatalan hukum syara` yang telah ditetapkan terdahulu dengan dalil syara` yang datang kemudian.
Dari kedua dafinisi tersebut diatas dapat dipahami beberapa hal sebegai berikut :
a. Naskh atau pembatalan itu dilakukan dengan khitab atau tuntutan Allah. Atas dasar ini naskh tidak dapat dilakukan oleh selain Allah. Adapun perbuatan Nabi Saw yang kadangkala sebagai naskh sebenarnya hanya sebagai dalil yang menginformasikan tentang adanya tuntutan dari Allah untuk membatalkan suatu hukum. Khitab atau tuntutan naskh tidak dapat berasal dari Nabi karena beliau tidak memiliki kekuasaan untuk membatalkan hukum syara`.
b. Yang dibatalkan tersebut adalah hukum syara` yang mengandung perintah, larangan atau berita. Atas dasar ini pembatalan terhadap hukum yang didasarkan pada akal atau hukum yang didasarkan pada prinsip ibahah al-asliyah sebelum datang syara` dan hukum yang didasarkan pada adat istiadat tidak disebut sebagai naskh.
c. Hukum yang membatalkan hukum terdahulu datangnya kemudian. Hukum yang dibatalkan labih dahulu datangnya daripada hukum yang membatalkannya. Dengan demikian hukum yang berkaitan dengan istisna dan syarat tidak dapat disebut sebagai naskh.
2. Tarjih
Secara bahasa tarjih berarti menguatkan. Kajian tentang tarjih erat kaitannya dengan adanya dua dalil yang bertentangan secara zhahir dan sederajat. Untuk menyelesaikan pertentangan itu digunakan cara al-jam`u wa al-taufiq. Apabila cara ini tidak dapat menyelesaikan pertentangan antara dalil tersebut digunakan cara tarjih. Dalil yang dikuatkan disebut rajih dan dalil yang dilemahkan disebut marjuh.
Secara terminologi ada sejumlah definisi tarjih yang dikemukakan oleh para ulama diantaranya seperti yang dikemukakan al-Amidi sebagai berikut :
عبارة عناقتراد الصالحين لدلالة على المطلوب مع تعارضهما بما يوجب العمل به واهمل الاخر
Ungkapan mengenai diiringi salah satu dari dua dalil yang pantas menunjukkan kepada apa yang dikehendaki di samping keduanya berbenturan yang mewajibkan untuk mengamalkan satu diantaranya dan meninggalkan yang lain.
Kalangan Hanafiyyah mendefinisikan tarjih sebagai berikut :
اظهار زيادة الأحد المتماثلين على الاخر بما لا يستقل
Menjelaskan ada tambahan pada salah satu dari dua dalil yang sederajat, dimana dalil tambahan itu tidak berdiri sendiri.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa dalil yang bertentangan itu mesti memiliki kualitas yang sama. Untuk itu al-Qur`an tidak dapat disebut rajih atau lebih kuat dari hadits ahad dan hadits ahad tidak dapat disebut rajih atau lebih kuat dari qiyas. Sebab al-Qur`an tidak sama kualitasnya dengan hadits ahad dengan qiyas. Disamping itu dalil yang menjadi pendukung dalil yang bertentangan itu tidak berdiri sendiri. Ia tidak terpisah dari dalil yang saling bertentangan.
Sedangkan kalangan Syafi`iyyah mendefinisikan tarjih sebagai berikut :
تقوية إحدالأمارتين (أى الدليلين الظنيين) على الأخرىليعمل بها
Menguatkan salah satu indikator dalil zhanni atas yang lain untuk diamalkan.
Definisi ini mengisyaratkan bahwa tarjih hanya dapat terjadi terhadap dua dalil zhanni yang saling bertentangan karena tarjih tidak berlaku dintara dalil yang qhat`i dengan zhanni.
Dari ketiga definisi tersebut dapat dirumuskan beberapa syarat tarjih, yaitu :
a. Ada dua dalil yang bertentangan dan tidak mungkin untuk mengamalkan keduanya melalui cara apapun.
b. Kedua dalil yang bertentangan itu memiliki kualitas yang sama untuk memberi petunjuk kepada yang dimaksud.
c. Ada indikator yang mendukung untuk mengamalkan salah satu diantara dua dalil yang bertentangan dan meninggalkan dalil yang satu lagi.
Para ulama Ushul Fiqh menyimpulkan ada dua cara dalam melakukan tarjih, Pertama al-tarjih bain al-nushush yaitu dengan menguatkan salah satu dari nash yang bertentangan dapat diamati dari beberapa segi yaitu segi sanad, segi matan, segi hukum yang dikandung nash, dan menggunakan dalil lain diluar nash. dan al-tarjih bain al-‘aqyisah yaitu dengan tarjih dari segi hukum asal, hukum furu`, illat, dan dari segi faktor luar.
3. Al-Jam`u wa al-Taufiq
Al-Jam`u wa al-Taufiq adalah menghubungkan dua dalil yang nampak bertentangan, sehingga keduanya bisa dipakai dan diamalkan dengan didapatkan makna yang berserasian.
4. Tasaqut al-Dalalain
Tasaqut al-Dalalain adalah upaya menangguhkan penyelesaian atau keputusan dari dua dalil yang tempak beralawanan karena sulit ditempuh dangan al-jam`u wa al-taufiq, tarjih, maupun naskh. Cara ini sebenarnya bukanlah penyelesaian tetapi penangguhan untuk sementara waktu, sementara belum didapatkan keterangan atau alasan-alasan lain yang menunjang atau menguatkan salah satunya.
C. Langkah Penyelesaian antara Hanafiyyah dan Syafi`iyyah
Dalam menghadapi pertentangan antara dua dalil secara zhahir perlu diambil cara penyelesaiannya sehingga dapat menghilangkan pertentangan tersebut. Dalam hal ini para ulama menggunakan dua metode, yaitu metode Hanafiyyah dan metode Syafi`iyyah.
1. Metode Hanafiyyah
Ulama Hanafiyyah mengemukakan beberapa langkah yang ditempuh untuk menyelesaikan pertentangan antara dua nash atau dalil.
a. Naskh
Metode ini mengkaji terlebih dahulu waktu turunnya nash atau dalil yang bertentangan tersebut. Apabila telah diketahui mana nash yang lebih dahulu turun dan yang kemudian turun, maka diterapkanlah metode Naskh. Dalil yang kemudian turun menaskh nash yang lebih dahulu turun. Dalam contoh pertentangan antara ayat diatas, maka berdasarkan penelitia bahwa QS al-Baqarah : 234 yang menyatakan iddah wanita yang dicerai karena meninggal dunia 4 bulan 10 hari turun kemudian QS al-Baqarah : 240 yang menyatakan iddah wanita yang dicerai suami karena meninggal dunia satu tahun. Jadi yang diambil dari pertentangan kedua dalil ini adalah iddah wanita yang cerai ditinggal mati suami 4 bulan 10 hari.
b. Tarjih
Metode ini adalah dengan menguatkan satu dari dua dalil yang bertentangan dengan mempertimbangkan indikator yang mendukungnya. Metode ini baru digunakan apabila tidak diketahui sejarah yang menjelaskan perihal turunnya kedua dalil yang bertentangan. Tarjih dapat dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa ketentuan seperti menguatkan muhkam dan mufassar, ibarat al-nash dari `isyarat al-nash, menguatkan dalil yang mengandung hukum mubah dan menguatkan hadits ahad yang perawinya lebih dhabit dan adil dari perawi yang kurang dhabit dan adil.
c. Al-Jam`u wa al-Taufiq
Metode ini menghimpun kedua dalil yang bertentangan untuk kemudian dikompromikan. Metode ini digunakan apabila metode tarjih tidak dapat menyelesaikan pertentangan antara dalil. Hasil kompromi kedua dalil inilah yang diambil hukumnya. Hal ini sejalan dengan prinsip yang ditetapkan dalam kaidah fiqih :
العمل بالدليلين المتعارضين اولى من إلغاء احدهما
Mengamalkan dua dalil yang bertentangan lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain.
Ada beberapa contoh yang dapat dikemukakan dalam menerapkan al-Jam`u wa al-Taufiq. Dalam kehidupan sehari-hari sering orang mengeluarkan pernyataan yang bertentangan padahal berasal dari orang yang sama. Misalkan, seseorang mengatakan: berikanlah sedekahmu kepada para fakir miskin. Pada saat lain, orang tersebut berkata: jangan berikan sedekahmu kapada fakir miskin. Kedua ucapan tersebut bertentangan satu sama lain dalam pandangan orang yang mendengarnya. Kedua ucapan tersebut sulit diketahui mana yang dahulu dan kemudian. Namun, dengan menggunakan metode al-Jam`u wal al-Taufiq kedua ucapan tersebut yang bertentang dapat diselesaikan dengan mengkompromikannya. Perintah memberikan sedekah ditujukan kepada fakir miskin yang tidak meminta-minta. Sedangkan larangan memberi sedekah ditujukan untuk fakir miskin yang biasa meminta-minta.
Contoh lain, dapat diamati dari hadits Nabi Saw, berikut :
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخِيْرِ الشُّهَدَاءِ؟ هُوَ الَّذِى يَأْتِى بِالشَّهَادَةِ قَبْلَ أن يَسْأَلهَا
Bukanlah saya telah beritahukan kepadamu tentang sebaik-baik saksi? Yaitu orang yang memberikan kesaksian sebelum ia diminta kesaksian tersebut kepadanya (HR. Muslim)
Hadits ini menjelaskan bahwa kesaksian yang paling baik, yaitu kesaksian yang diberikan oleh seseorang sebelum diminta memberikannya di depan peradilan. Hadits ini merupakan dorongan bagi seseorang untuk memberikan kesaksian terhadap kasus yang diketahuinya, baik yang menyangkut hak Allah maupun hak manusia.
Dalam hadits lain, Nabi Saw menyatakan :
إِنَّ خَيْرَكُمْ قَرْنِى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهَا ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهَا ثُمَّ يَكُوْنُ بَعْدَهُمْ قَوْمٌ يَشْهَدُوْنَ وَلَا يَسْتَشْهَدُوْنَ وَيَخُوْنُوْنَ وَلَا يُؤْتَمَنُوْنَ
Sebaik-baik generasi adalah generasiku kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya pula, setelah itu orang-orang akan memberikan kesaksian di depan hakim tanpa diminta sedangkan mereka tidak mengetahui peristiwa itu, mereka berkhianat dan tidak dapat dipercaya (HR. Ahmad)
Hadits ini menginformasikan bahwa jauh sesudah generasi Nabi Saw muncul orang-orang yang menjadi saksi dalam suatu perkara, dimana mereka sebenarnya tidak menyaksikan perkara yang dihadapinya.
Untuk menyelesaikan pertentangan antara kedua hadits ini dapat digunakan metode al-jam`u wa al-taufiq. Melalui metode ini ditetapkan bahwa hadits pertama ditujukan untuk kesaksian dalam kasus-kasus yang berakaitan dengan hak Allah dan kesaksian pada hadits yang kedua dimaksudkan untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan hak manusia.
Contoh lain dapat diambil dari firman Allah Swt QS al-Baqarah: 234
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari.
Ayat ini menunjukkan pengertian umum, dimana berlaku ketentuan iddah bagi semua wanita yang ditalak suaminya, baik setelah melakukan hubungan suami istri atau sebelumnya. Ayat ini bertentangan secara lahir dengan firman Allah QS al-Ahzab : 49 yaitu :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut`ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara sebaik-baiknya.
Adapun cara penyelesaian kedua ayat yang bertentangan tersebut adalah dengan mengkompromikan antara keduanya. QS al-Baqarah : 234 ditujukan untuk wanita yang bercampur dengan suaminya. Sedangkan QS al-Ahzab : 49 diberlakukan untuk wanita yang ditalak sebelum bercampur dengan suaminya.
d. Tasaqut al-Dalalain
Metode ini adalah menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Metode ini digunakan ketika metode sebelumnya tidak dapat menyelesaikan pertentangan antara dalil tersebut. Dengan menggunakan metode ini berarti menggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan mencari dalil lain yang secara kualitas berada di bawah dalil yang bertentangan itu.
Dengan metode ini apabila ada pertentang dalam al-Qur`an dengan ayat al-Qur`an lalu antara keduanya tidak bisa dinaskh atau ditarjih atau dikompromikan maka boleh beralih kepada dalil yang kualitasnya di bawah al-Qur`an yaitu hadits. Apabila pertentangan antara hadits dengan hadits maka dapat beralih mengambil pendapat sahabat atau menggunakan qiyas bagi yang tidak memakai pendapat sebagai dalil.
Adpun contoh penggunaan metode yang keempat ini dapat diamati dari kaifiyat shalat khusuf. Dalam hadits dijelaskan tata cara shalat khusuf sebagai berikut :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى صَلَاةَ اْلكُسُوْفِ كَماَ تُصَلُّوْنَ رَكْعَةً وَسَجْدَتَيْنِ
Bahwa Nabi Saw, melakukan shalat khusuf sebagaimana kamu melakukan shalat sunat biasa, yaitu satu rakaat dengan dua kali sujud (HR. Abu Daud dan Nasa`i)
Dalam hadits lain dicontohkan Nabi Saw melalui sunnah fi`liyah tentang cara shalat khusuf sebagai berikut :
أَنَّ الرَّسُوْلَ صَلَّاهَا رَكْعَتَيْنِ بِأَرْبَعَةِ رُكُوْعَاتٍ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ
Bahwa Rasulullah Saw melakukan shalat khusuf dua rakaat dengan empat kali ruku` dan empat kali sujud (HR. Imam yang enam)
Hadits pertama tentang khusuf ini menjelaskan tata cara shalat tersebut dengan satu kali ruku` dan satu kali berdiri untuk setiap rakaat seperti shalat biasa. Sementara hadits kedua menjelaskan bahwa shalat khusuf dilakukan dengan dua kali ruku` dan dua kali berdiri untuk setiap rakaatnya. Dalam kasus ini tidak ada merajjih (menguatkan) salah satu dari kedua hadits ini. Kalangan Hanafiyyah tidak menggunakan kedua hadits ini tetapi menggunakan qiyas untuk menetapkan tata cara shalat khusuf. Mereka mengqiyaskan pelaksanaan shalat khusuf kepada shalat-shalat lainnya.
Apabila dalil yang bertentangan itu bukan nash, seperti qiyas dengan qiyas, maka harus melakukan tarjih dengan salah satu dari tingkatan qiyas. Misalnya melakukan tarjih dengan menguatkan illat yang manshusah (terdapat dalam nash) dari illat yang diistinbathkan dengan cara memperhatikan kesamaan dengan illat yang terdapat pada nash.
2. Metode Syafi`iyyah
Ulama Syafi`iyyah dalam menyelesaikan pertentangan antara dalil-dalil menggnakan beberapa metode, metode tersebut juga digunakan oleh ulama Malikiyyah, Hanabilah, dan Zahiriyyah.
a. Al-Jam`u wa al-Taufiq
Menurut Syafi`iyyah, Malikiyyah, dan Zahiriyyah bahwa metode pertama yang harus digunakan dalam dalam menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan adalah dengan menghimpun dan mengkompromikan antara dalil-dalil tersebut, meskipun hanya dilakukan dari satu sisi. Mereka beralasan pada prinsipnya dalil itu harus diamalkan bukan untuk diabaikan.
Untuk menggunakan dalil-dalil yang bertentangan dapat dilaksanakan dengan tiga langkah berikut:
1. Adakalanya hukum kedua dalil yang bertentangan dapat dibagi, maka boleh dilakukan pembagian secara baik. Ini sangat mungkin terjadi pada kasus dua orang yang memberikan pengakuan tentang kepemilikan keduanya terhadap sebuah rumah. Pernyataan masing-masing tentang kepemilikan terhadap rumah itu meniadakan kepemilikan yang lain terhadap rumah tersebut. Pernyataan masing-masing pihak jelas bertentangan dan sulit untuk menyelesaikan dengan mengkompromikan antara kedua pernyataan tersebut. Namun, mengkompromikan kedua pernyataan itu dari salah satu sisi dapat dilakukan dengan jalan membagi rumah menjadi dua bagian.
2. Adakalanya hukum dari dalil yang bertentangan merupakan sesuatu yang berbilang sehingga memungkinkan lahir hukum yang banyak. Dalam keadaan seperti ini sangat mungkin mengamalkan kedua dalil yang bertentangan itu.
3. Adakalanya hukum yang terdapat dalam dua dalil yang bertentangan bersifat umum yang terkait dengan sejumlah hukum lain, sehingga memungkinkan menggunakan kedua dalil yang bertentangan. Untuk maksud tersebut dihubungnkan hukum salah satu dari dua dalil yang bertentangan
b. Tarjih
Menggunakan tarjih yaitu menguatkan satu dari dua dalil yang bertentangan karena ada indikator yang mendukungnya. Metode ini digunakan manakala pengkompromian antara dalil yang bertentangan tidak dapat dilakukan. Upaya mentarjih ini dapat dengan empat cara, yaitu mentarjih dari sisi sanad, mentarjih dari sisi matan, mentarjih dari sisi hukum dan mentarjih dari sisi lain diluar nash. Mentarjih dari sisi sanad adalah khusus untuk menyelesaikan pertentangan dalil yang terjadi pada sunah atau hadits. Sementara cara tarjih yang lainnya dapat digunakan untuk mengatasi pertentangan dalil yang terjadi pada al-Qur`an, Sunnah, dan Ijma`.
c. Naskh
Naskh dengan membatalkan hukum syara` yang datang lebih dahulu dengan hukum syara` yang sama yang datang kemudian. Metode digunakan ketika kedua metode sbelumnya tidak dapat menyelesaikan pertentangan antara dua dalil. Metode dapat digunakan apabila diketahui kedua dalil yang bertentangan dapat diketahui mana dalil yang lebih dahulu datang dan mana dalil yang datang kemudian. Dalil yang datang kemudian yang diambil dan diamalkan, seperti hadits Nabi Saw :
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ ادِّخَارِ لُحُوْمِ اْلأَضَاحِى فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فَالآنَ فَكُلُوْا وَادَّخِرُوا
Artinya : Aku pernah melarang kamu menyimpan daging kurban melebihi kebutuhan tiga hari, maka sekarang makan dan simpanlah (HR. Ibnu Majah)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa larangan menyimpan daging kurban melebihi kebutuhan tiga hari merupakan hukum yang pertama datang dan kebolehan menyimpan daging kurban melebihi kebutuhan tiga hari merupakan hukum yang datang kemudian.
d. Tasaqut al-Dalalain
Tasaqut al-Dalalain, yaitu mengabaikan kedua dalil yang bertentangan dan beralih mencarai dalil lain, meskipun kualitasnya lebih rendah. Kalangan Syafi`iyyah, Malikiyyah, Hanabilah, dan Zahiriyyah menggunakan metode Tasaqut al-Dalalain apabila ketiga cara sebelumnya tidak dapat menyelesaikan pertentangan dua dalil tersebut.

D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah kami sampaikan dalam makalah ini. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa penyelesaian terhadap ta`arudh al-adillah atau dalil-dalil yang bertentangan dapat menggunakan metode al-jam`u wa al-taufiq, tarjih, naskh, dan tasaqut al-dalalain.
Tidak ada perbedaan pendapat dalam metode penyelesain terhadap ta`arudh al-adillah atau dalil-dalil yang bertentangan. Namun terjadi perbedaan pendapat dalam tahapan metode antara ulama Hanafiyyah yang mendahulukan tarjih, lalu naskh,lalu al-jam`u wa al-taufiq, dan terakhir tasaqut al-dalalain. Sedangakan ulama Syafi`iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah mendahuluan al-jam`u wa al-taufiq, tarjih, naskh, dan tasaqut al-dalalain.

DAFTAR PUSTAKA
Beik, Muhammad Khudari. Ushul Fiqh, Beirut : Dar al-Fikr, 1988.
al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari, Riyadh: Dar al-Salam, 1997.
al-Qur`an al-Karim. al-Madinah al-Munawwarah : Khadim al-Haramain, 2010.
al-Qusyairi, Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj. Shahih al-Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1993.
al-Sun`i, Muhammad bin Ismail al-Amiri. Ushul al-Fiqh al-Musamma Ijabah al-Sa`il bi Ghayati al-Amil, Beirut : Muassasah al-Risalah, tt.
al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 2001.
Hasbalah, Ali. Ushul al-Tasyri` al-Islami, Kairo : Dar al-Maarif, 1997.
an-Nasa`i, Ahmad bin Syuaib, Sunan an-Nasa`i : Riyadh: Maktabah al-Muayyid, 1992.
Zaidan, Abd al-Karim. al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut : Muassasah al-Risalah, 1987.

FIQHUL MUSIBAH : Analisis Ilmiah Memahami Musibah Perspektif Al-Qur`an

Penyusun :
MOH. IDRUS, MA.Pd
Peserta Program PKU XII MUI DKI Jakarta / Alumnus Program Magister SPS UIN Jakarta
Kepala Sekolah SDS Persatuan Islam Koja Jakarta Utara
(Phone : 0813 1000 7884 – 085774337272 / Email : mohidrus.mhd@gmail.com)

Allah Swt berfirman :
QS. Al Baqarah ayat 155
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155)
“Sungguh akan kami uji kamu dengan sedikit perasaan takut, perasaan lapar, kekurangan harta, kehilangan jiwa, dan buah-buahan dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar”
Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsirnya :

فَإِنَّ الْجَائِعَ وَالْخَائِفَ كُلٌّ مِنْهُمَا يَظْهَرُ ذَلِكَ عَلَيْهِ، وَلِهَذَا قَالَ لِبَاسُ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ. وَقَالَ هَاهُنَا: بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ أَيْ بِقَلِيلٍ مِنْ ذَلِكَ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوالِ أَيْ ذَهَابُ بَعْضِهَا وَالْأَنْفُسِ كَمَوْتِ الْأَصْحَابِ وَالْأَقَارِبِ وَالْأَحْبَابِ وَالثَّمَراتِ أَيْ لَا تُغِلُّ الحدائق والمزارع كعادتها.
قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: فَكَانَتْ بَعْضُ النَّخِيلِ لَا تُثْمِرُ غَيْرَ وَاحِدَةٍ، وَكُلُّ هَذَا وَأَمْثَالُهُ مِمَّا يَخْتَبِرُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ فَمَنْ صَبَرَ أَثَابَهُ ومن قنط أحل به عقابه، ولهذا قال تعالى: وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ وَقَدْ حَكَى بَعْضُ الْمُفَسِّرِينَ أَنَّ الْمُرَادَ مِنَ الْخَوْفِ هَاهُنَا خَوْفُ اللَّهِ، وَبِالْجُوعِ صيام رمضان، وبنقص الْأَمْوَالِ الزَّكَاةُ، وَالْأَنْفُسِ الْأَمْرَاضُ، وَالثَّمَرَاتِ الْأَوْلَادُ، وَفِي هَذَا نَظَرٌ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Maka dapat difahami bahwa kehidupan di dunia ini salah satu hiasannya adalah musibah.
Maka bagi seorang muslim perlu memahami musibah secara benar.
Jangan mengaitkan antara musibah dengan berkuasanya atau jatuhnya seseorang dari kekuasaan.
Jangan pula menvonis bahwa saudara kita yang terkena musibah adalah para pendosa dan yang tidak terkan musibah menjadi lebih baik dari mereka.

Di dalam al-Qur`an ummat terdahulu telah ditimpakan bencana yang sangat dahsyat. Bahkan jauh melebihi dahsyat bencana yang menimpa ummat saat ini diantaranya :

• Pertama kaum Nabi Nuh As
QS. al-A`raf : 64
Mereka ditimpa bencana Maha Dahsyat yang menenggalamkan penjuru negeri dan menenggelam penduduknya kecuali yang beriman dan mengikuti ajakan Nabi Nuh menaiki bahtera yang telah dibuatnya.

• Kedua kaum Nabi Luth As
QS. al-A’raf ayat 80-82
Mereka ditimpa bencana berupa suara keras yang mengguntur ketika matahari akan terbit sehingga dibalikkan dan mereka dihujani dengan batu belerang karena perilaku seksual yang menyimpang yaitu homoseksual.

• Ketiga kaum Nabi Hud As
QS. at-Taubah ayat 70
QS. al-Qamar ayat 18
QS. Fusilat ayat 13
QS. an-Najm ayat 50
QS. Qaaf ayat 13
Kaum Ad Mereka ditimpa bencana angin yang dahsyat disertai dengan bunyi guruh yang menggelegar hingga mereka tertimbun pasir karena mereka mendustakan kenabian Nabi Hud As.

• Keempat Kaum Nabi Saleh As
QS. al-Hijr ayat 80
QS. Huud ayat 68
QS. Qaaf ayat12
Kaum Tsamud meraka ditimpa bencana karena membunuh unta betina yang keluar dari celah batu.

• Kelima Kaum Nabi Syuaib As
QS. at-Taubah ayat 70
QS. al-Hijr ayat 78
QS. Thaha ayat 40
QS. al-Hajj ayat 44
Kaum Madyan mereka ditimpa musibah hawa panas yang sangat kendati berlindung ditempat yang teduh karena berbuat curang dalam perdagangan ketika membeli minta dilebihkan tetapi ketikamenjual mereka mngurangi.

• Kaum Saba
QS Sabaa 15-19.
Mereka ditimpa bencana karena enggan beribadah setelah diberi kemakmuran dengan kebun-kebun yang lebat dan telah diperingati oleh Nabi Sulaiman As.

Bencana dalam konteks kekinian tentua saja perlu ada kajian lebih mendalam dalam tentang apa yang menimpa ummat saat ini. Apakah bencana yang menimpa ummat saat ini sama dengan dengan apa yang menimpa ummat terdahulu. Namun dalam beberapa ayat yang terdapat dalam al-Qur`an setiap musibah dapat menjadi petunjuk dalam beberapa hal diantaranya :

1. Pertama. Sebagai sebuah bukti komitmen keimanan.
QS. al-Ankabut : 2-3
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (3)
2. Kedua. Peningkatan derajat keimanan.
• Keimanan Nabi Nuh
QS. al-Angkabut ayat 14
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا فَأَخَذَهُمُ الطُّوفَانُ وَهُمْ ظَالِمُونَ (14)
• Keimanan Nabi Ibrahim
QS. al-Anbiya ayat 57-70
وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ (57) فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ (58) قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ (59) قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ (60) قَالُوا فَأْتُوا بِهِ عَلَى أَعْيُنِ النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَشْهَدُونَ (61) قَالُوا أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآلِهَتِنَا يَا إِبْرَاهِيمُ (62) قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ (63) فَرَجَعُوا إِلَى أَنْفُسِهِمْ فَقَالُوا إِنَّكُمْ أَنْتُمُ الظَّالِمُونَ (64) ثُمَّ نُكِسُوا عَلَى رُءُوسِهِمْ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا هَؤُلَاءِ يَنْطِقُونَ (65) قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلَا يَضُرُّكُمْ (66) أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ (67) قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ (68) قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ (69) وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ (70)

• Keimanan Nabi Ayyub
QS. Shaad ayat 41.
وَاذْكُرْ عَبْدَنَا أَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الشَّيْطَانُ بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ

3. Ketiga Sebagai teguran
كما في الحديث عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال : ( إذا أراد الله بعبده الخير عجَّل له العقوبة في الدنيا ، وإذا أراد بعبده الشر أمسك عنه بذنبه حتى يوافيه به يوم القيامة ) خرجه الترمذي وحسنه ”
Sebagaimana dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika Allah menghendaki kebaikan untuk seorang hamba-Nya maka Allah akan menyegerakan hukuman untuknya di dunia. Sebaliknya jika Allah menghendaki keburukan untuk seorang hamba maka Allah akan biarkan orang tersebut dengan dosa-dosanya sehingga Allah akan memberikan balasan untuk dosa tersebut pada hari Kiamat nanti” (HR Tirmidzi dan beliau menilainya sebagai hadits dengan kualitas hasan).

4. Keempat sebagai siksa QS. al-Anfal ayat 25
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (25)
5. Kelima sebagai bukti adanya pertolongan Allah QS. al-Baqarah ayat 214.
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ (214)
6. Bukti cinta Allah kepada hambaNya.
“Ketika Allah mencintai suatu kaum, Dia mengujinya dengan musibah. Siapa yang bersabar, maka dia akan diganjar pahala (atas kesabarannya itu). Sedangkan bagi yang berkeluh-kesah, ia pun hanya memperoleh keluh-kesahnya itu” (HR. Ahmad dan al-Thabrani).

REVITALISASI KINERJA GURU PAI

Berdasarkan Undang-undang No 14 Tahun 2005, Peraturan pemerintah No 19 tahun 2005 dan No 74 tahun 2008 diamanatkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP).

Berkaitan dengan hal tersebut Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dalam hal ini Direktorat Pendidikan Agama Islam (Ditpais) berupaya menjalankan amanat dengan sebaik-baiknya. Sebagai badan yang menangani bidang Pendidikan Agama Islam, Direktorat Pendidikan Agama Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam kementrian Agama RI berkomitmen dengan Kementrian Pendidikan Nasional untuk merevitalisasi kinerja guru.
Baca pos ini lebih lanjut

Hubungan pembawaan, keturunan dan lingkungan dalam pendidikan

Dalam mengajar dan mendidik ada beberapa teori dan aliran tentag hubungan pembawaan, keturunan dan lingkungan. Sebagai berikut :

Pertama, Aliran Nativisme (Pesimisme Pedagogis) Perkembangan manusia telah ditentukan oleh faktor yang dibawa manusia sejak lahir. Kedua, Aliran Naturalisme (J.J Rousseou) Semua anak dilahirkan adalah baik. Perkembangannya ditentukan pendidikan yang diterimanya. Ketiga, Aliran Empirisme (Optimisme Pedagogis) Perkembangan anak ditentukan lingkungan, pendidikan dan pengamalan. Keempat, Hukum Konvigurasi Pembawaan dan lingkungan kedua-duanya menentukan perkembangan manusia.

Sumber : Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan teoritis dan praktis, 2009.

Pilar Utama Pendidikan

UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural) organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pendidikan, limu pengetahuan, dan kebudayaan menggariskan empat pilar utama pendidikan, yaitu learning to know (belajar untuk mengetahui sebagai landasan ilmu pengetahuan) learning to do (belajar untuk bekerja, aplikasi) learning to be (belajar untuk menjadi, penggalian potensi diri) dan learning to life together (belajar untuk hidup bersama hidup bermitra sekaligus berkompetisi hidup berdampingan dan bersahabat antar bangsa).

Bandingkan dengan tiga pilar utama pendidikan menurut Benjamin S. Bloom yang dikenal dengan taksonomi bloom yang terdiri dari ranah kognitif (menekankan aspek intelektual), ranah afektif (menekankan aspek perasaan dan emosi), dan ranah psikomotorik (menekankan aspek keterampilan motorik).

Islam dan Etika Lingkungan

Islam datang dan diturunkan Allah Swt sebagai rahmatallil`alamin[1] (rahmat bagi seluruh alam). Rahmat dalam bahasa arab berarti mengasihi atau kasih sayang. Ini menunjukkan bahwa orang Islam dimanapun dan kapanpun  harus senantiasa mengasihi. Dan kasihnya bukan hanya untuk kalangan tertentu atau makhluk tertentu tetapi kepada seluruh alam termasuk di dalamnya terhadap lingkungan.

Di dalam banyak catatan sejarah banyak disebutkan bagaimana rasulullah Saw banyak memberikan contoh dan mengajarkan akan pentingnya akhlak mulia bagi setiap muslim baik terhadap sesama dengan senantiasa menjaga sikap dan perkatan, terhadap jin dengan tidak buang air kecil di lubang-lubang kecil yang kemungkinan tempat tinggal mereka, terhadap hewan yang akan disembelih dengan menajamkan pisau agar tidak menyiksa, termasuk terhadap lingkungan bahkan pada saat perang dengan larangan menebang pohon dan merusak bangunan.
Baca pos ini lebih lanjut